Sunday 23 June 2013

Makalah Pradigma



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan sangatlah pesat, sejalan dengan kemajuan jaman, begitu pula dengan cara berpikir masyarakat yang cenderung menyukai hal-hal yang dinamis. Semakin banyak penemuan-penemuan atau penelitian yang dilakukan oleh manusia, tidak menutup kemungkinan adanya kelemahan-kelemahan didalamnya, maka dari itu dari apa yang telah diciptakan atau diperoleh dari penelitian tersebut ada baiknya berdasar pada nilai-nilai yang menjadi tolak ukur kesetaraan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yaitu sila pancasila
Dengan berpedoman pada nilai-nilai pancasila, apapun yang diperoleh manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan akan sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara indonesia guna melaksanakan pembangunan nasional, reformasi, dan pendidikan pada khususnya.

B.     Rumusan Masalah
Peranan Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan

C.    Batasan Masalah
Disini akan dibahas tentang penjabaran paradigma, Pancasila sebagai paradigma Pembangunan, Reformasi, dan penerapan Pancasila khususnya di ruang lingkup Akademik.



BAB II
PEMBAHASAN
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN DALAM BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA

A.    Pengertian Paradigma
Awalnya istilah Paradigma berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan terutama yang kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution (1970: 49). Inti sari paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum dan dijadikan sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri dan karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dengan adanya kajian paradigma ilmu pengetahuan sosial kemudian dikembangkanlah metode baru yang berdasar pada hakikat dan sifat paradigma ilmu, yaitu manusia yang disebut metode kualitatif. Kemudian berkembanglah istilah ilmiah tersebut dalam bidang manusia serta ilmu pengetahuan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-bidang lainya. Dalam kehidupan sehari hari paradigma berkembang menjadi terminologi yang mengandung arti sebagai sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas, tolak ukur, parameter serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan, dan proses dalam bidang tertentu termasuk bidang pembangunan, reformasi, maupun pendidikan. Dengan demikian paradigma menempati posisi dan fungsi yang strategis dalam proses kegiatan. Perencanaan, pelaksanaan dan hasil- hasilnya dapat diukur dengan paradigma tertentu yang diyakini kebenaranya.

B.     Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka mencapai masyarakat adil dan makmur. Pembangunan nasional merupakan perwujudan nyata dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia indonesia sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan rincian sebagai berikut:
1.      Tujuan negara hukum formal, adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.      Tujuan negara hukum material dalam hal ini merupakan tujuan khusus atau nasional, adalah memajukan kesejahteraan umum,dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
3.      Tujuan Internasional, adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Yang perwujudanya terletak pada tatanan pergaulan masyarakat internasional.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus berdasar pada hakikat nilai sila-sila Pancasila yang didasari oleh ontologis manusia sebagai subjek pendukung pokok negara. Dan ini terlihat dari kenyataan obyektif bahwa pancasila dasar negara dan negara adalah organisasi (persekutuan hidup) manusia. Dalam mewujudkan tujuan negara melalui pembangunan nasional yang merupakan tujuan seluruh warganya maka dikembalikanlah pada dasar hakikat manusia “monopluralis” yang unsurnya meliputi : kodrat manusia yaitu rokhani (jiwa) dan raga, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk TuhanYME. Kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional harus mmperlihatkan konsep berikut ini :
1.      Pancasila harus menjadi kerangka kognitif dalam identifikasi diri sebagai bangsa
2.      Pancasila sebagai landasan pembangunan nasional
3.      Pancasila merupakan arah pembangunan nasioanl
4.      Pancasila merupakan etos pembangunan nasional
5.      Pancasila merupakan moral pembangunan
Masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perkembangan yang amat pesat karena dampak pembangunan nasional maupun rangsangan globalisasi, memerlukan pedoman bersama dalam menanggapi tantangan demi keutuhan bangsa. Oleh sebab itu pembangunan nasional harus dapat memperlihatkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.    Hormat terhadap keyakinan religius setiap orang
2.    Hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi atau subjek (manusia seutuhnya)
Sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia maka pembangunan nasional harus meliputi aspek jiwa, seperti akal, rasa dan kehendak, raga (jasmani), pribadi, sosial dan aspek ketuhanan yang terkristalisasi dalam nilai-nilai pancasila. Selanjutnya dijabarkan dalam berbagai bidang pembangunan antara lain politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bidang kehidupan agama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hakikatnya Pancasila sebagai paradigma pembangunan mengandung arti atas segala aspek pembangunan yang harus mencerminkan nilai-nilai pancasila.

1.      Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Iptek
Pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) merupakan salah satu syarat menuju terwujudnya kehidupan masyarakat bangsa yang maju dan modern. Pengembangan dan penguasaan iptek menjadi sangat penting, manakala dikaitkan dengan kehidupan global yang ditandai dengan persaingan. Namun demikian pengembangan iptek bukan semata-mata untuk mengejar kemajuan meterial melainkan harus memperlihatkan aspek-aspek spiritual. Artinya, pengembangan iptek harus diarahkan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Dengan pemikiran diatas dapat kita ketahui adanya tujuan essensial daripada iptek, yaitu demi kesejahteraan umat manusia, sehingga pada hakikatnya iptek itu tidak bebas nilai, melainkan terikat oleh nilai.
Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila silanya harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir serta asas moralitas bagi pembangunan iptek. Sebagai bangsa yang memiliki pandangan hidup pancasila, maka tidak berlebihan apabila pengembangan iptek harus didasarkan atas paradigma pancasila. Apabila kita melihat sila demi sila menunjukkan sistem etika dalam pembangunan iptek.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkomplementasikan ilmu pengetahuan, mencipta, perimbangan antara rasional dan irasional, antara akal, rasa dan kehendak. Sila ini menempatkan manusia di alam semesta bukan merupakan pusatnya melainkan sebagai bagian yang sistematik dari alam yang diolahnya (T. Jacob, 1986), dapat disimpulkan berdasarkan sila ini iptek selalu mempertimbangkan dari apa yang ditemukan, dibuktikan, dan diciptakan, adakah kerugian bagi manusia.
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, menekankan bahwa iptek haruslah bersifat beradab dan bermoral, sehingga terwujud hakikat tujuan iptek yaitu, demi kesejahteraan umat manusia. Bukan untuk kesombongan dan keserakahan manusia melainkan harus diabdikan demi peningkatan harkat dan martabat manusia.
Sila Persatuan Indonesia, memberikan kesadaran kepada bangsa indonesia bahwa rasa nasionalime bangsa indonesia akibat dari adanya kemajuan iptek, dengan iptek persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud dan terpelihara, persaudaraan dan persahabatan antar daerah diberbagai daerah terjalin karena tidak lepas dari faktor kemajuan iptek. Oleh sebab itu iptek harus dikembangkan untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa dan selanjutnya dapat dikembangkan dalam hubungan manusia indonesia dengan masyarakat internasional.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, mendasari pengembangan iptek secara demokratis. Disini ilmuwan tidak hanya ditempatkan untuk memiliki kebebasan dalam pengembangan iptek, namun juga harus ada saling menghormati dan menghargai kebebasan orang lain dan bersikap terbuka untuk menerima kritikan, atau dikaji ulang dan menerima perbandingan dengan penemuan teori lainya.
Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, iptek didasarkan pada keseimbangan keadilan dalam kehidupan kemanusiaan, yaitu keseimbangan keadilan dalam hubunganya dengan dirinya sendiri, manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat bangsa dan negara, serta manusia dengan alam lingkunganya (T. Jacob, 1986). Jadi dapat disimpulkan bahwa sila-sila pancasila harus merupakan sumber nilai, kerangka pikir serta basis moralitas bagi pengembangan iptek.

2.      Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUD HANKAM
Dalam bidang kenegaraan penjabaran pembangunan dituangkan dalam GBHN yang dirinci dalam bidang-bidang operasional serta target pencapainya, bidang tersebut meliputi POLEKSOSBUD HANKAM. Dalam mewujudkan tujuan seluruh warga harus kembali berdasar pada hakikat manusia yaitu monopluralis, yang artinya meliputi berbagai unsur yaitu rokhani-jasmani, individu-makhluk sosial, serta manusia sebagai pribadi-makhluk Tuhan YME. Maka hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pengembangan POLEKSOSBUD HANKAM, guna membangun martabat manusia itu sendiri.

3.      Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Bidang Politik
Politik sangat berperan penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia, karena sistem politik negara harus berdasarkan hak dasar kemanusiaan, atau yang lebih dikenal dengan hak asasi manusia. Sehingga sistem politik negara pancasila mampu memberikan dasar-dasar moral, diharapakan supaya para elit politik dan penyelenggaranya memiliki budi pekerti yang luhur, dan berpegang pada cita-cita moral rakyat yang luhur. Sebagai warga negara indonesia manusia harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik, bukan sekedar objek politik yang diharapkan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena Pancasila sebagai paradigma dalam berpolitik, maka sistem politik di indonesia berasaskan demokrasi, bukan otoriter.
Berdasar pada hal diatas, pengembangan politik di indonesia harus berlandaskan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan, apabila pelaku politik baik warga negara maupun penyelenggaranya berkembang atas dasar moral tersebut maka akan menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral yang baik.

4.      Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan Paradigma Pancasila dalam pembangunan ekonomi, maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mandasarkan pada moralitas ketuhanan, dan kemanusiaan. Hal ini untuk menghindari adanya pengembangan ekonomi yang cenderung mengarah pada persaingan bebas, yaitu yang terkuat dialah yang akan menang, seperti yang pernah terjadi pada abad ke-18, yaitu tumbuhnya perekonomian kapitalis. Dengan adanya kejadian pada abad ke-18 tersebut, maka eropa pada awal abad ke-19 bereaksi untuk merubah perkembangan ekonomi tersebut menjadi sosialisme komunisme, yang berjuang untuk nasib rakyat proletar yang sebelumnya ditindas oleh kaum kapitalis.
Ekonomi yang humanistik mendasarkan pada tujuan demi mensejahterakan rakyat luas, sistem ekonomi ini di kembangkan oleh mubyarto, yang tidak hanya mengejar pertumbuhan saja melainkan demi kemanusiaan dan kesejahteraan seluruh bangsa. Tujuan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia, agar manusia menjadi lebih sejahtera, oleh sebab itu kita harus menghindarkan diri dari persaingan bebas, monopoli dan yang lainnya yang berakibat pada penderitaan manusia dan penindasan atas manusia satu dengan lainnya.
5.      Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang Pancasila berdasar pada hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, yang diharapkan menghasilkan manusia yang berbudaya dan beradab.
Dalam rangka melakukan reformasi disegala bidang, hendaknya indonesia berdasar pada sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa indonesia itu sendiri yaitu nilai pancasila yang merupakan sumber normatif bagi peningkatan humanisasi khususnya dalam bidang sosial budaya. Sebagai kerangka kesadaran pancasila dapat merupakan dorongan untuk ;
a.    Universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur
b.    Transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan manusia dan kebebasan spiritual (koentowijoyo,1986)
Dengan demikian proses humanisasi universal akan dehumanisasi serta aktualisasi nilai hanya demi kepentingan kelompok sosial tertentu yang diharapkan mampu menciptakan sistem sosial budaya yang beradab.
Berdasar sila Persatuan Indonesia pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Pengakuan serta penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa sangat diperlukan sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa, dengan demikian pembangunan sosial budaya tidak akan menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.



6.      Pancasila sebagai Paradigma Hankam
Salah satu tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya terletak pada penyelenggara negara semata, akan tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem partahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Dasar-dasar kemanusiaan yang beradab merupakan basis moralitas pertahanan dan keamanan negara. Maka dari itu pertahanan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi terjaminya harkat dan martabat manusia, terutama secara rinci terjaminya hak-hak asasi manusia. Dengan adanya tujuan tersebut maka pertahanan keamanan negara harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, guna mencapai tujuan yaitu demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan YME (sila II), Pancasila juga harus mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga sebagai warga negara (Sila III), pertahanan keamanan harus mampu menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan (sila IV) dan akhirnya pertahanan keamanan haruslah diperuntukkan demi terwujudnya keadilan keadilan dalam hidup masyarakat atau terwujudnya suatu keadilan sosial, dan diharapkan negara benar-benar meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan atas kekuasaan sehingga mengakibatkan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

7.      Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama
Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia mengalami adanya suatu kemunduran, yaitu kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan. hal ini dapat kita lihat adanya suatu kenyataan banyak terjadinya konflik sosial pada masalah-masalah SARA, terutama pada masalah agama, sebagai contoh tragedi di Ambon, Poso, Medan, Mataram, Kupang, dan masih banyak lagi daerah yang lain yang terlihat semakin melemahnya toleransi dalam kehidupan beragama sehingga menyimpang dari asas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pancasila telah memberikan dasar-dasar nilai yang fundamental bagi umat bangsa untuk dapat hidup secara damai dalam kehidupan beragama di negara Indonesia tercinta ini. Sebagai makhluk Tuhan YME manusia wajib untuk beribadah kepada Tuhan YME dimanapun mereka hidup. Akan tetapi Tuhan menghendaki kehidupan manusia yang penuh kedamaian dengan hidup berdampingan, saling menghormati, meskipun Tuhan menciptakan adanya perbedaan, berbangsa-bangsa, bergolong-golong, berkelompok, baik sosial, politik, budaya maupun etnis tidak lain untuk kehidupan yang damai berdasar pada kemanusiaan.
Dalam Pokok Pikiran IV, negara menegaskan bahwa, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, hal ini berarti bahwa kehidupan dalam negara berdasar pada nilai-nilai ketuhanan, dengan memberikan kebebasan atas kehidupan beragama atau dengan menjamin atas demokrasi dibidang agama. Setiap agama memiliki dasar-dasar ajaran yang sesuai dengan keyakinan masing-masing dengan mendasarkan pergaulan kehidupan dalam beragama atas nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan berdasar bahwa pemeluk agama adalah bagian dari umat manusia di dunia. Maka sudah seharusnya negara Indonesia mengembangkan kehidupan beragama ke arah terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai berdasar pada nilai kemanusiaan yang beradab.

C.    Pancasila sebagai Paradigma Reformasi
Saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah diperjuangkan sejak tahun 1998. ketika gerakan reformasi melanda Indonesia maka seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru banyak mengalami keruntuhan. Bangsa Indonesia ingin menata kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman, adil, dan sejahtera. Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak mampu memberi kedaulatan dan keadilan pada rakyat. Namun dalam mencapai terwujudnya reformasi bangsa Indonesia harus mangalami berbagia dampak, baik dampak sosial, politik, ekonomi, terutama kemanusiaan. Berbagai gerakan bermunculan yang disertai dengan akibat tragedi kemanusiaan, yang banyak menelan korban terlebih rakyat kecil yang tidak berdosa yang mendambakan adanya kehidupan penuh kedamaian ketentraman serta kesejahteraan.
Banyak sekali tragedi yang melanda bangsa Indonesia akibat dari pergolakan reformasi, antara lain peristiwa amuk masa diJakarta, Tangerang, Solo, Jawa Timur, Kalimantan serta daerah lainya. Bahkan tragedi pembersihan etnis juga terjadi di beberapa daerah, antara lain Dili, Kupang, Ambon, Kalimantan Barat dan masih banyak lagi daerah lainnya. Dampak yang sangat mencolok adalah perekonomian semakin memprihatinkan, banyak p[erusahaan maupun perbankan yang gulung tikar sehingga banyak pekerja atau tenaga kerja potensial di PHK, jumlah pengangguran meningkat. Yang sangat disayangkan adalah kalangan elit politik sama sekali tidak menghiraukan jeritan kemanusiaan tersebut.
Namun demikian ada satu yang tersisa dari keterpurukan bangsa Indonseia, yaitu keyakinan akan nilai yang dimilikinya, yaitu nilai yang berakar dari pandangan hidup bangsa indonesia yaitu nilai-nilai Pancasila. Jadi reformasi yang dilakukan bangsa Indonesia adalah menata kehidupan bangsa dan negara dalam suatu sistem negara dibawah nilai-nilai Pancasila, bukan menghancurkan dan membubarkan bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu Pancasila sangat tepat sebagai paradigma, acuan, kerangka dan tolak ukur gerakan reformasi di Indonesia.
Dengan Pancasila sebagai paradigma reformasi, gerakan reformasi harus diletakkan dalam kerangka Perspektif sebagai landasan sekaligus sebagai cita-cita. Sebab tanpa suatu dasar dan tujuan yang jelas reformasi akan mengarah pada suatu gerakan anarki, kerusuhan, disintegrasi, dan akhirnya mengarah pada kehancuran bangsa. Reformasi dengan Paradigma Pancasila rincianya sebagai berikut :
1.      Reformasi yang berketuhanan YME, artinya gerakan reformasi berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang baik sebagai manusia makhluk Tuhan.
2.      Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi berlandaskan pada moral kemanusiaan yang luhurdan sebagai upaya penataan kehidupan yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.
3.      Reformasi yang berdasarkan nilai Persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Gerakan reformasi yang menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat menciptakan perpecahan dan disintegrasi bangsa.
4.      Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan rakyat sebagai subyek dan pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi bertujuan menuju terciptanya pemerintahan yang demokratis yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
5.      Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, gerakan reformasi harus memiliki visi yang jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Perlu disadari bahwa ketidakadilanlah penyebab kehancuran suatu bangsa.

Oleh karena itu bilamana bangsa Indonesia meletakkan sumber nilai, dasar filosofi serta sumber norma kepada nilai-nilai tersebut bukanlah suatu keputusan yang politisi saja melainkan keharusan yang bersumber pada kenyataan obyektif pada bangsa indonesia sendiri. Perubahan yang dilakukan reformasi dalam berbagai bidang sering diteriakkan dengan jargon reformasi total tidak mungkin melakukan perubahan terhadap sumbernya itu sendiri. Opleh karena itu reformasi harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta platform atau landasan yang jelas dan bagi bangsa Indonesia nilai-nilai Pancasila itulah yang merupakan Paradigma Reformasi Total tersebut.
Pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini bangsa Indonesia menghadapi bencana hebat, yaitu krisis ekonomi Asia terutama Asia Tenggara yang mengakibatkan stabilitas politik menjadi goyah. Ditambah dengan adanya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada hampir seluruh instansi serta lembaga pemerintahan dan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang para kalangan pejabat, semakin memperburuk kondisi bangsa Indonesia. Pada sisi lain rakyat dikelabui dengan berbagai macam program yang mengatasnamakan rakyat, namun pada kenyataannya hanya menguntungkan pada sekelompok kecil yaitu para elit ekonomi dan para pejabat, untuk melakukan praktek KKN untuk kepentingan pribadi.
Pancasila yang seharusnya menjadi sumber nilai dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana negara pada kenyataanya digunakan sebagai alat legitimasi politik, semua kebijakan diatas namakan pancasila oleh penguasa, bahkan untuk kebijakan dan tindakan yang sudah jelas bertentangan dengan nilai pancasila. Puncak dari peristiwa tersebut ditandai semakin hancurnya perekonomian nasional, yang mengakibatkan berbagai kegiatan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya reformasi di segala bidang , terutama bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Sebagai keberhasilan gerakan reformasi tersebut terbukti dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 mei 1998 yang kemudian disusul dilantiknya wakil presiden Prof. Dr. B.J. Habibie guna menggantikan kedudukan presiden, kemudian dibentuk kabinet reformasi pembangunan, pemerintahan Habibie inilah yang mengantarkan masyrakat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama pengubahan 5 paket UU. Dibidang ekonomi juga dilakukan adnya perubahan yaitu diwujudkanya UU Anti monopoli, UU persaingan sehat, UU kepailitan, UU usaha kecil, UU bank sentral, UU Perlindungan konsumen, UU Perlindungan buruh, dan lain sebagainya (Nopiri,1998 ; 1)
Reformasi juga dilakukan pada kelembagaan tertinggi, yaitu susunan DPR, dan MPR yang dengan sendirinya dilakukan melalui Pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan :
a.       UU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU no. 16/1969 jis. UU no. 2/1985)
b.      UU tentang partai politik dan golongan karya (UU no. 3/1975, jo. UU no. 3/1985
c.       UU tentang Pemilihan Umum (UU no.16/1969 Jis UU no. 4/1975, UU no. 2/1980, dan UU no. 1/1985)
Reformasi UU politik diatas diharapkan mampu mewujudkan iklim politik yang demokratis sesuai dengan kehendak pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (mardjono.1998:57)
1.         Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila
Makna reformasi secara etimologis berasal dari kata “ reformation” dengan akar kata “ reform” yang secara semantik bermakna “ make or become better by removing or putting right what is bad or wrong” (oxford advanced learned’s divtionary of current english,1980, dalam  wibisono,1998;1)sedangkan secara harfiah reformasi memiiliki makna suatu gerakan untuk memformat ulang hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada bentuk yang sesuai dengan nilai-nilai ideal yg dicita-citakan oleh rakyat (riswanda, 1998). Maka dari itu, suatu gerakan reformasi harus memiliki köndisi syarat2 sebagai berikut:
a.       Adanya suatu penyimpangan-penyimpangan.
b.      Reformasi harus dilakukan dgn suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu, yaitu Pancasila sebagai landasanya.
c.       Reformasi dilakukan harus berdasar pada suatu kerangka struktural tertentu,yaitu UUD sebagai acuan.
d.      Reformasi dilakukan untuk suatu perubahan ke arah yang lebih baik.
e.       Reformasi dilakukan atas dasar moral dan etika sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, Serta terjaminya persatuan dan kesatuan bangsa.

2.         Pancasila sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup bangsa indonesia dalam perjalanan sejarah ternyata tidak diletakkan dalam kedudukan dan fungsi yang sebenarnya. Sejak Orde Lama banyak sekali hal-hal yang menyimpang, sebagai contoh nasakom, presiden seumur hidup serta praktek kekuasaan diktator. Maka dari itu dgn adanya reformasi akan sangat diharapkan adanya perubahan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang berkedudukan sebagai landasan cita-cita dan ideologi (hamengkubuwono x, 1998/8). Reformasi dalam perspektif pancasila pada hakikatnya harus berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia,berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Dalam perspektif pancasila gerakan reformasi sebagai suatu upaya untuk menata ulang dengan melakukan perubahan-perubahan sebagai realisasi kedinamisan dan keterbukaan pancasila dalam kebijaksanaan dan penyelenggaraan negara. Pancasila sebagai sumber nilai yang memiliki sifat reformatif,artinya memiliki aspek pelaksanaan yang senantiasa mampu menyesuaikan dengan dinamika aspirasi rakyat. Dalam mengantisipasi perkembangan zaman dengan menata kembali kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat tanpa merubah nilai esentialnya, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.

3.         Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam proses réformasi sudah seharusnya dilakukan adanya perubahan terhadap perundang-undangan. Hal ini berdasar pada adanya kenyataan setelah peristiwa 21 mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan orde baru, salah satu subsistem yang dampaknya sangat parah adalah dibidang hukum. Subsistem hukum tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan cenderung bersifat imperatif bagi penyelenggara pemerintah. Jadi untuk melakukan adanya reformasi harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang terkandung dalam pancasila yang merupakan dasar cita2 reformasi.
a.              Pancasila sebagai sumber nilai perubahan hukum
Dalam negara indonesia “staatsfundamentalnorm” ny adalah Pancasila, yang artinya Pancasila merupakan pokok kaidah sumber hukum positif. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama yang berkaitan dengan berbagai macam upaya perubahan hukum. Maka dari itu supaya hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, harus senantiasa diperbaharui agar tetap sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan pembaharuan tersebut harus tetap meletakkan Pancasila sebagai kerangka pikir, sumber norma, dan sumber nilai-nilainya.
Sebagai paradigma dalam pembaharuan tatana hukum pancasila dipandang sebagai cia-cita hukum, dan sebagai cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Sebagai fungsi konstitutif Pancasila menentukan dasar suatu tatanan hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri, sehingga hukum sangat bergantung pada dasar-dasar yang diberikan oleh nilai-nilai Pancasila. Begitu pula dengan fungsi regulatif, Pancasila menetukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil atau tidak. Sebagai staatsfundamentalnorm pancasila merupakan pangkal sumber penjabaran dari tertib hukum di indonesia termasuk juga UUD 1945. Dalam pengertian inilah istlah ilmu hukum disebut sumber dari segala peraturan perundang-undangan di indonesia (mahfud, 1999;59). Sumber hukum meliputi dua macam pengertian ;
1)        Sumber Hukum Formal, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang bersifat mengikat terhadap komunitasnya, misalnya Undang-undang, perda dll.
2)        Sumber materila hukum, yaitu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum (Darmodihardjo, 1996:206)
Selain sumber nilai yang terkandung dalam Pancasila reformasi dan pembaharuan hukum juga bersumber pada kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat terutama dalam wujud aspirasi yg dikehendakinya. Menurut Johan Galtung suatu perubahan serta pengembangan secara ilmiah harus mempertimbangkan tiga unsur, yaitu nilai, teori (norma), fakta atau realitas empiris (Galtung,1980:30-33). Dengan demikian maka upaya untuk terwujudnya suatu reformasi hukum akan mampu mengantarkan manusia ke tingkatan harkat dan martabat yang lebih tinggi, sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab.

b.             Dasar Yuridis Reformasi Hukum
Dalam upaya reformasi telah banyak dilontarkan berbagai macam pendapat tentang aspek-aspek yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia, bahkan semakin banyak bermunculan usulan tentang amandemen atau perubahan secara menyeluruh terhadap Pasal-pasal UUD 1945, namun harus dipahami secara obyektif, apabila terjadi suatu amandemen terhadap seluruh pasal UUD 1945, maka tidak terjadi pula perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah negara yang fundamental, sebagai sumber positif, memuat Pancasila sebagai dasar filsafat negara yang melekat pada kelangsungan hidup negara proklamasi 17 agustus 1945. Oleh karena itu apabila ada perubahan
pembukaan UUD 1945 sama halnya dengan menghilangkan eksistensi bangsa dan negara Indonesia, atau sama halnya dengan pembubaran negara Indonesia.
Dasar yuridis Pancasila sebagai paradigma reformasi hukum adalah Tap no.XX/MPRS/1996, yang menyatakan Panacasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yang berarti sebagai sumber produk serta proses penegakan hukum harus selalu bersumber pada niali-nilai yang terkandung dalam pancasila, dan secar eksplisit dirinci tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila. Ada beberapa macam produk peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan dalam reformasi hukum, antara lain undang-undang politik tahun 1999, yaitu UU no.2 tahun 1999, tentang partai politik, UU no.3 tahun 1999, tentang Pemilu, dan UU no.4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, Dan DPRD, kemudian UU pokok Pers yang diharapkan menghasilkan pers yang bebas dan demokratis, lalu UU otonomi daerah yang meliputi UU no.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU no. 25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan UU no.28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Demikian juga terjadi pada tingkatan ketetapan MPR yang telah dilakukan reformasi hukum melalui sidang istimewa MPR pada bulan November 1998 yang menghasilkan berbagai macam ketetapan antara lain Tap No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan referendum, karena dianggap menghambat demokrasi, Tap No. IX/MPR/1998 tentang GBHN yang tidak mungkin dilaksanakan karena krisis ekonomi serta politik, Tap no. X/MPR/1998 tentang poko-pokok reformasi pembangunan, Tap no. XI/MPR/1998 tentang negara yang bebas KKN, Tap No. XIII/MPR/1998 tentang masa jabatan presiden , Tap No. XIV/MPR/1998 tentang Pemilu Tahun 1999, Tap No. XV/MPR/1998 tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, Tap No. XVI/MPR/1998 tentang Demokrasi Ekonomi, Tap No. XVII/MPR/1998 tentang Hak asasi manusia, serta Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan P4, serta berbagai macam peraturan perundang-undangan lainya.

4.         Pancasila sebagai Paragidma Reformasi Pelaksanaan Hukum
Dalam Era reformasi pelaksanaan hukum harus didasarkan pada suatu nilai sebagai landasan operasionalnya guna mencapai tujuan daripada reformasi itu sendiri yaitu melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah. Pelaksanaan hukum pada masa reformasi ini harus benar-benar dapat mewujudkan negara demokratis dengan suatu supremasi hukum, yang artinya pelaksanaan hukum harus mampu mwujudkan jamina atas terwujudnya keadilan (sila V) dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban setipa warga negara, tanpa memandang pangkat, jabatan ataupun golongan maupun agama. Konsekuensi dari pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama pihak kejaksaan adalah sebagai ujung tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari praktek KKN.
5.         Pancasila sebagai Paradigma reformasi politik
Landasan aksiologi (sumber nilai) bagi sistem politik Indonesia adalah sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Bangsa Indonesia yaitu pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi “…..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Nilai demokrasi politik yang terkandung dalam Pancasila merupakan fondasi bangunan negara yang dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataanya tidak dilaksanakan berdasarkan suasana kerokhanian berdasarkan nilai-nilai tersebut, dan pada realisasinya baik pada masa orde lama maupun orde baru negara lebih mengarah pada praktek otoritarianisme yang mengarah pada porsi kekuasaan yang terbesar kepada presiden. Nilai demokrasi politik tersebut secara normatif terjabar dalam pasal-pasal UUD 1945 yaitu
pasal 1 ayat 2 menyatakan :
“ kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis  permusyawaratan rakyat”
Pasal 2 ayat 2 menyatakan,
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota dewan paerwakilan rakyat, ditambah utusan dari daerah dan golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”



Pasal 5 ayat 1 menyatakan,
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Pasal 6 ayat 2 menyatakan,
“Presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak “

Adapun esensi dari pasal-pasal tersebut berdasarkan UUD 1945 adalah :
a.       Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara
b.      Kedaulatan rakyat dijalankan sepenuhnya oleh MPR
c.       Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, dan bertanggung jawab kepada MPR
d.      Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh presiden baik sendiri maupun bersama dengan lembaga lain, kekuatanya berada dibawah MPR atau produk-produknya.

Perlu diketahui pula bahwa rakyat adalah asal mula kekuatan negara, oleh sebab itu paradigma ini merupakan dasar pijak dalam reformasi politik. Dan reformasi politik atas sistem politik harus melalui Undang-undang yang mengatur sistem politik tersebut, dengan tetap mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.

6.          Susunan Keanggotaan MPR
Untuk melakukan suatu perubahan terhadap susunan keanggotaan MPR, DPR dan DPRD , terlebih dahulu harus melakukan reformasi terhadap peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar acuan penyusunan keanggotaan MPR DPR. Susunan MPR yang termuat dalam Undang-undang politik no.2/1985 dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat seperti yang tertuang dalam semangat UUD 1945. maka dari itu rakyat bertekad melakukan reformasi dengan mengubah sistem politik tersebut melalui sidang istimewa MPR tahun 1998 yang kemudian dituangkan dalam UU Politik tahun 1999, adapun perubahan yang telah dilakukan antara lain pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa :
a.       Jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang
b.      Jumlah anggota DPR hasil Pemilu sebanyak 500 orang
c.       Utusan Daerah sebanyak 135 orang, yaitu 5 orang dari setiap Daerah Tingkat 1
d.      Utusan Golongan sebanyak 65 orang
Kemudian perubahan yang mendasar berikutnya pasal 2 ayat 3 yaitu utusan daerah dipilih oleh DPR. Dan DPR dipilih berdasarkan hasil pemilu yang bersifat demokratis.

7.         Susunan Keanggotaan DPR
Perubahan keanggotaan DPR tertuang dalam UU no.4 pasal 11 adalah sebagai berikut :
Pasal 4 ayat 2 menyatakan keanggotaan DPR terdiri atas,
a.       anggota partai politik hasil pemilu
b.      anggota ABRI yang diangkat
Pasal 11 ayat 3 menjelaskan,
a.       anggota partai hasil pemilu sebanyak 462 orang
b.      anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang
namun berkaitan dengan keanggotaan ABRI di DPR masih ada sebagian masyarakat yang menolak, akhirnya berdasarkan sidang istimewa MPR tahun 1998 anggota ABRI dikurangi secara bertahap. hal ini berdasar pada pertimbangan dan hasil musyawarah masih perlu partisipasi ABRI dalam sistem demokrasi demi persatuan dan kesatuan bangsa.

8.         Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat 1
Susunan Keanggotaan DPRD Tingkat I yang tertuang dalam UU Politik no.4 tahun 1999, sebagai berikut :
a.       Pasal 18 ayat 1 bahwa pengisian anggota DPRD Tingkat I  dilakukan melalui Pemilu dan pengangkatan
b.      Pasal 18 ayat 2 menyatakan bahwa DPRD I terdiri atas anggota partai politik hasil pemilihan umum, dan anggota ABRI yang diangkat
Pasal 18 ayat 3 menyatakan jumlah anggota DPRD I ditetapkan sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat.

9.         Susunan Keanggotaan DPRD II
Susunan keanggotaan DPRD II yang tertuang dalam UU Politik No. 4 Tahun 1999 adalah :
a.          Pasal 25 ayat 1, menyatakan pengisian anggota DPRD II dilakukan berdasar pada hasil Pemilu dan pengangkatan
b.        Pasal 25 ayat 2 menyatakan, DRPD II terdiri atas anggota partai politik hasil Pemilu, dan anggota ABRI yang diangkat
c.         Pasal 25 ayat 3 menyatakan, jumlah anggota DPRD II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45 orang termasuk 10% anggota ABRI yang diangkat
Demikian perubahan atas UU tentang susunan Anggota MPR, DPR, dan DPRD yang diharapkan mencerminkan nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila yang merupakan Paradigma demokrasi.

10.     Reformasi Partai Politik
Dalam UU Politik no.3 tahun 1975, Jo UU No.3 tahun 1985 ditentukan bahwa partai politik dan golongan karya hanya meliputi 3 macam, yaitu, Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia, ketentuan ini tidak mencerminkan nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila, dan tidak sesuai pula dengan semangat UUD 1945 pasal 28, serta hakikat nilai Pancasila yang bermakna keaneka ragaman akan tetapi tetap satu kesatuan. Dalam mengatur adanya partai politik tertuang dalam UU no.2 tahun 1999 tentang partai politik yang lebih demokratis dan memberikan kebebasan serta keleluasaan untuk menyalurkan aspirasinya. Adapun ketentuanya adalh sebagai berikut:
a.       Pancasila sebagai dasar negara dari NKRI dalam anggaran dasar partai
b.      Asas atau ciri, aspirasi dan program partai politik tidak bertentangan dengan pancasila
c.       Keanggotaan partai politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih
d.      Partai politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera kesatuan RI sang merah putih, bendera negara asing gambar perorangan dan nama serta lambang partai lain yang telah ada.

Atas ketentuan UU tersebut maka semakin banyak partai-partai politik baru yang hingga saat ini mencapai 114 partai politik, namun pada kenyataanya, yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu hanya 48 partai politik. Dan partai itulah yang ikut dalam pemilu tahun 1999. dalam pelaksanaan pemilu juga dilakukan adanya perubahan yang diatur dalam UU no. 3 tahun 1999 tentang pemilu, yang berisi tentang kejujuran, keadilan, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Dan untuk penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang terdiri atas unsur-unsur partai politik peserta pemilu dan unsur pemerintah yang bertanggung jawab terhadap Presiden. Dengan adanya ketentuan UU tersebut sistemik pelaksanaan Pemilu tahun 1999 akan bersifat demokratis, bahkan ditambah dengan adanya kebebasan untuk membentuk pemantau Pemilu baik dari dalam maupun luar negeri.

11.     Reformasi atas Kehidupan Politik
Untuk mencapai kehidupan politik yang benar-benar demokratis maka harus dilakukan dengan cara Revitalisasi politik yaitu dengan mengembalikan Pancasila pada kedudukan serta fungsi yang sebenarnya seperti yang tertuang pada UUD 1945.
  

BAB III
KESIMPULAN

Awalnya istilah Paradigma berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan terutama yang kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution (1970: 49). Inti sari paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum dan dijadikan sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri dan karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus berdasar pada hakikat nilai sila-sila Pancasila yang didasari oleh ontologis manusia sebagai subjek pendukung pokok negara. Dan ini terlihat dari kenyataan obyektif bahwa pancasila dasar negara dan negara adalah organisasi (persekutuan hidup) manusia. Dalam mewujudkan tujuan negara melalui pembangunan nasional yang merupakan tujuan seluruh warganya maka dikembalikanlah pada dasar hakikat manusia “monopluralis” yang unsurnya meliputi : kodrat manusia yaitu rokhani (jiwa) dan raga, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dan kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk TuhanYME. Kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional harus mmperlihatkan konsep berikut ini :
6.      Pancasila harus menjadi kerangka kognitif dalam identifikasi diri sebagai bangsa
7.      Pancasila sebagai landasan pembangunan nasional
8.      Pancasila merupakan arah pembangunan nasioanl
9.      Pancasila merupakan etos pembangunan nasional
10.  Pancasila merupakan moral pembangunan

No comments:

Post a Comment