BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang Ketenagakerjaan
Tersedianya lapangan/kesempatan
kerja baru untuk mengatasi peningkatan penawaran tenaga kerja merupakan salah
satu target yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi daerah. Upaya tersebut
dapat diwujudkan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya investasi
langsung (direct investment) pada sektor-sektor yang bersifat padat karya,
seperti konstruksi, infrastruktur maupun industri pengolahan. Sementara pada
sektor jasa, misalnya melalui perdagangan maupun pariwisata. Tenaga kerja
adalah orang yang siap masuk dalam pasar kerja sesuai dengan upah yang
ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja dihitung dari penduduk
usia produktif (umur 15 thn–65 thn) yang masuk kategori angkatan kerja (labour
force).
Kondisi di negara berkembang pada
umumnya memiliki tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal
masih cukup besar sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak
terdidik. Sektor informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi
pengangguran.
Angka resmi tingkat pengangguran
umumnya menggunakan indikator pengangguran terbuka, yaitu jumlah angkatan kerja
yang secara sungguh-sungguh tidak bekerja sama sekali dan sedang mencari kerja
pada saat survei dilakukan. Sementara yang setengah pengangguran dan penganggur
terselubung tidak dihitung dalam angka pengangguran terbuka, karena mereka
masih menggunakan waktu produktifnya selama seminggu untuk bekerja meskipun
tidak sampai 35 jam penuh.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk
2000, penduduk berumur 15 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja adalah
264.802 orang (BPS, 2005) atau 64,48 % dari jumlah penduduk sebesar 410.682
jiwa. Dilihat dari lokasi, sebagian besar tinggal di desa yaitu 211.681 jiwa,
sedangkan di kota sebanyak 53.121 jiwa. Dari jumlah angkatan kerja tersebut
yang bekerja adalah sebesar 89,01%, sedangkan sisanya 10,99% tidak bekerja atau
menganggur. Dilihat aspek gender, sebagian besar yang menganggur adalah wanita
(17,42%), sedangkan yang laki-laki sekitar 5,32%.
Apabila dilihat dari jumlah pencari
kerja yang tercatat pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bima
(2006) sebagian besar berpendidikan SMU keatas atau perguruan tinggi, yaitu
sekitar 5.217 orang yang terdiri dari diploma III dan sarjana (S1). Sempitnya
lapangan kerja di Kabupaten Bima tidak terlepas dari masih rendahnya potensi
ekonomi yang dimanfaatkan terutama pada sektor pertanian. Adapun penyerapan
tenaga kerja yang baru lebih banyak mengandalkan sektor jasa pemerintahan
melalui kebijakan pemerintah pusat mengangkat tenaga honor daerah menjadi PNS
dimana selama 2005 s/d 2009 diperkirakan mencapai lebih dari 5.000 orang.
Hal lain yang perlu diperhatikan
dalam analisis ketenagakerjaan adalah berkaitan dengan rasio beban tanggungan
atau burden of dependency ratio. Yang dimaksud dengan dependency ratio adalah
beban yang ditanggung oleh penduduk produktif terhadap penduduk tidak
produktif. Oleh karena itu, semakin banyak penduduk produktif yang tidak
bekerja, maka dengan sendirinya akan meningkatkan beban tanggungan. Kondisi ini
juga banyak ditemukan di Kabupaten Bima di mana masyarakatnya tinggal di
wilayah pedesaan yang mana laki-laki muda banyak tidak bekerja demikian pula
dengan wanitanya.
Masalah–masalah ketenagakerjaan di
Kabupaten Bima yang paling menonjol antara lain :
1.
Rendahnya
minat tenaga kerja untuk menciptakan lapangan kerja baru melalui kegiatan
wirausaha, terutama tamatan dari sekolah kejuruan maupun SMA.
2.
Kurangnya
inovasi di bidang pertanian, industri dan sektor jasa dalam meningkatkan investasi
padat tenaga kerja.
3.
Tenaga
kerja berpendidikan sarjana umumnya bekerja sebagai setengah penganggur karena
memasuki bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya dan bekerja kurang dari 36
jam per minggu.
4.
Minimnya
investasi dan pabrik yang dapat menampung tenaga kerja skala besar.
5.
Tidak seimbangnya antara permintaan dan
penawaran tenaga kerja, yang disebabkan oleh kualifikasi sarjana di Kabupaten
Bima didominasi oleh ilmu–ilmu sosial dibandingkan ilmu–ilmu eksakta yang lebih
bersifat aplikatif.
6.
Hambatan
budaya yang lebih memandang PNS sebagai pekerjaan prestisius, sehingga
mematikan kreatifitas untuk bekerja di luar sektor jasa pemerintahan.
Dari kajian tekstual yang dilakukan
KPPOD (2006) , dalam aspek kebijakan dan regulasi (Perda/SK Kepala Daerah),
peta persoalan umum yang menandai distorsi kebijakan ketenagakerjaan di
sejumlah daerah dalam masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini adalah :
Pertama, pelanggaran dalam hal
perijinan dan pungutan terkait penggunaan tenaga kerja asing. Padahal,
Perijinan (menurut Pasal 42 UU No.13 Tahun 2003) maupun pungutan (menurut Pasal
3 PP No.92 Tahun 2002) yang terkait dengan penggunaan TKA berada di pusat.
Kedua, pungutan yang tidak proporsional dan amat lemah dalam acuan konsiderans.
Kedua, pungutan yang tidak proporsional dan amat lemah dalam acuan konsiderans.
Ketiga, diskriminasi gender. Di
sejumlah daerah ditemukan cukup banyak perda yang mengatur jam kerja lembur
atau ijin kerja lembur malam bagi wanita dan mengenakan pungutan (retribusi)
tertentu atasnya.
Keempat, proteksionisme (perlindungan berlebihan) bagi tenaga kerja lokal. Tidak hanya terjadi dalam sektor pemerintahan, dimana muncul tuntutan preferensi berlebihan bagi putera daerah untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis (politik dan birokrasi), gejala serupa juga terjadi dalam dunia swasta (bahkan tidak sekedar sebagai tuntutan pemerintah) terkait pemberian kesempatan kerja, dimana perusahaan wajib memberikan jatah, yang bahkan dengan patokan kuota tertentu bagi putera daerah untuk sesuatu pekerjaan dalam perusahaan tersebut.
Keempat, proteksionisme (perlindungan berlebihan) bagi tenaga kerja lokal. Tidak hanya terjadi dalam sektor pemerintahan, dimana muncul tuntutan preferensi berlebihan bagi putera daerah untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis (politik dan birokrasi), gejala serupa juga terjadi dalam dunia swasta (bahkan tidak sekedar sebagai tuntutan pemerintah) terkait pemberian kesempatan kerja, dimana perusahaan wajib memberikan jatah, yang bahkan dengan patokan kuota tertentu bagi putera daerah untuk sesuatu pekerjaan dalam perusahaan tersebut.
Begitu pentingnya posisi pengaruh
faktor Ketenagakerjaan di satu sisi dan banyaknya persoalan pada sisi lain
menyebabkan efek serius bagi kelancaran berusaha di daerah. Semua itu menambah
biaya tambahan (additional cost) dalam ongkos berbisnis (cost of doing
business), baik biaya waktu (banyaknya waktu untuk bernegosiasi dengan pihak
buruh dan pemda) maupun biaya material karena berbagai pungutan legal dan
ilegal yang ada. Kekakuan dalam kebijakan ketenagakerjaan kita maupun iklim
kebijakan makro yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah merupakan peta
jalan kemana arah menelusuri persoalan.
Berdasarkan beberapa kasus daerah
lain di atas, tampaknya persoalan kebijakan ketenagakerjaan di Kabupaten Bima
belum begitu kompleks sebagaimana dialami daerah yang telah maju sektor
industri dan jasanya. Bahkan, penanganan ketenagakerjaan di Kabupaten Bima dari
aspek upah saja belum dapat ditangani dengan baik, belum masalah-masalah
seperti keselamatan kerja dan perlindungan tenaga kerja lainnya sesuai dengan
amanat perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tenaga
Kerja Asing Di Indonesia : Kebijakan Dan Implementasi
Perkembangan globalisasi mendorong
terjadinya pergerakan aliran modal dan investasi ke berbagai penjuru dunia,
terjadi pula migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar negara.
Pergerakan tenaga kerja tersebut berlangsung karena investasi yang dilakukan di
negara lain pada umumnya membutuhkan pengawasan secara langsung oleh
pemilik/investor. Sejalan dengan itu, demi menjaga kelangsungan usaha dan
investasinya. Untuk menghindari terjadinya permasalahan hukum serta penggunaan
tenaga kerja asing yang berlebihan, maka Pemerintah harus cermat menentukan policy
yang akan di ambil guna menjaga keseimbangan antara tenaga kerja asing (modal
asing) dengan tenaga kerja dalam negeri.
B. Pendahuluan
Menyadari kenyataan sejauh ini
Indonesia masih memerlukan investor asing, demikian juga dengan pengaruh
globalisasi peradaban dimana Indonesia sebagai negara anggota WTO harus membuka
kesempatan masuknya tenaga kerja asing. Untuk mengantisipasi hal tersebut
diharapkan ada kelengkapan peraturan yang mengatur persyaratan tenaga kerja
asing, serta pengamanan penggunaan tenaga kerja asing. Peraturan tersebut harus
mengatur aspek-aspek dasar dan bentuk peraturan yang mengatur tidak hanya di
tingkat Menteri, dengan tujuan penggunaan tenaga kerja asing secara selektif
dengan tetap memprioritaskan TKI.
Oleh karenanya dalam mempekerjakan
tenaga kerja asing, dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang sangat ketat,
terutama dengan cara mewajibkan bagi perusaahan atau korporasi yang
mempergunakan tenaga kerja asing bekerja di Indonesia dengan membuat rencana
penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja
Asing.
C. Pengaturan Nasional Mengenai Tenaga
Kerja Asing
1.
Keputusan
Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang (TKWNAP)
Berbeda dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang menggunakan istilah tenaga kerja asing terhadap warga
negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indoensia (NKRI), dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP), menggunakan
istilah tenaga warga negara asing pendatang, yaitu tenaga kerja warga negara
asing yang memiliki visa tingal terbatas atau izin tinggal terbatas atau izin
tetap untuk maksud bekerja (melakukan pekerjaan) dari dalam wilayah Republik
Indonesia (Pasal 1 angka 1). Istilah TKWNAP ini dianggap kurang tepat, karena
seorang tenaga kerja asing bukan saja datang (sebagai pendatang) dari luar
wilayah Republik Idnonesia, akan tetapi ada kemungkinan seorang tenaga kerja
asing lahir dan bertempat tinggal di Indonesia karena status keimigrasian orang
tuanya (berdasarkan asas ius soli atau ius sanguinis).
Pada prinsipnya, Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 1995 tentang penggunaan tenaga kerja warga negara asing
pendatang adalah mewajibkan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia di
bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia kecuali jika ada bidang dan jenis
pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya diisi oleh tenaga kerja
Indonesia, maka penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang
diperbolehkan sampai batas waktu tertentu (Pasal 2). Ketentuan ini mengharapkan
agar tenaga kerja Indonesia kelak mampu mengadop skill tenaga kerja
asing yang bersangkutan dan melaksanakan sendiri tanpa harus melibatkan tenaga
kerja asing. Dengan demikian penggunaan tenaga kerja asing dilaksanakan secara
slektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
2.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), penggunaan tenaga kerja asing di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Kerja Asing (UUPTKA). Dalam perjalanannya, pengaturan mengenai
penggunaan tenaga kerja asing tidak lagi diatur dalam undang-undang tersendiri,
namun sudah merupakan bagian dari kompilasi dalam UU Ketenagakerjaan yang baru.
Dalam UUK, pengaturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dimuat pada Bab VIII,
Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. Pengaturan tersebut dimulai dari kewajiban
pemberi kerja yang menggunakan TKA untuk memperoleh izin tertulis; memiliki
rencana penggunaan TKA yang memuat alasan, jenis jabatan dan jangka waktu
penggunaan TKA; kewajiban penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping TKA;
hingga kewajiban memulangkan TKA ke negara asal setelah berakhirnya hubungan
kerja.
UUK menegaskan bahwa setiap
pengusaha dilarang mempekerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari
Menteri. Pengertian Tenaga Kerja Asing juga dipersempit yaitu warga negara
asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Di dalam
ketentuan tersebut ditegaskan kembali bahwa setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
Untuk memberikan kesempatan kerja
yang lebih luas kepada tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah membatasi
penggunaan tenaga kerja asing dan melakukan pengawasan. Dalam rangka itu,
Pemerintah mengeluarkan sejumlah perangkat hukum mulai dari perizinan, jaminan
perlindungan kesehatan sampai pada pengawasan. Sejumlah peraturan yang
diperintahkan oleh UUK antara lain :
a. Keputusan Menteri tentang Jabatan
Tertentu dan Waktu Tertentu (Pasal 42 ayat (5));
b. Keputusan Menteri tentang Tata Cata
Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Pasal 43 ayat (4));
c. Keputusan Menteri tentang Jabatan
dan Standar Kompetensi (Pasal 44 ayat (2));
d. Keputusan Menteri tentang
Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang di Jabat oleh Tenaga Kerja Asing (Pasal
46 ayat (2));
e. Keputusan Menteri tentang
Jabatan-jabatan Tertentu di Lembaga Pendidikan yang Dibebaskan dari Pembayaran Kompensasi
(Pasal 47 ayat (3)).
f. Peraturan Pemerintah tentang
Besarnya Kompensasi dan Penggunaannya (Pasal 47 ayat 4).
g. Keputusan Presiden tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kerja Pendamping (Pasal 49).
Sejak UUK diundangkan pada tanggal
25 Maret 2003, telah dilahirkan beberapa peraturan pelaksana undang-undang
tersebut antara lain :
a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 223/MEN/2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan
yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program JAMSOSTEK bagi
Tenaga Kerja Asing.
c. Peraturan Menteri Nomor
PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan pasar kerja nasional terutama dalam mengisi kekosongan
keahlian dan kompetensi di bidang tertentu yang tidak dapat ter-cover oleh
tenaga kerja Indonesia, maka tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia
sepanjang dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
Mempekerjakan tenaga kerja asing dapat dilakukan oleh pihak manapun sesuai
dengan ketentuan kecuali pemberi kerja orang perseorangan. Setiap pemberi kerja
yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri
atau pejabat yang ditunjuk kecuali terhadap perwakilan negara asing yang
mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu bagi tenaga kerja asing
ditetapkan dengan keputusan Menteri, yaitu Keputusan Menteri Nomor :
KEP-173/MEN/2000 tentang Jangka Waktu Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga
Negara Asing Pendatang.
Terhadap setiap pengajuan/rencana
penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia harus dibatasi baik dalam jumlah
maupun bidang-bidang yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing. Hal itu
bertujuan agar kehadiran tenaga kerja asing di Indoesia bukanlah dianggap
sebagai ancaman yang cukup serius bagi tenaga kerja Indonesia, justru kehadiran
mereka sebagai pemicu bagi tenaga kerja Indonesia untuk lebih professional dan
selalu menambah kemampuan dirinya agar dapat bersaing baik antara sesama tenaga
kerja Indonesia maupun dengan tenaga kerja asing. Oleh karenanya UUK, membatasi
jabatan-jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing. Terhadap tenaga
kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau
jabatan-jabatan tertentu yang selanjutnya diatur dengan Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 223 Tahun 2003 tentang Jabatan-jabatan di
Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
Jabatan-jabatan yang dilarang (closed
list) ini harus diperhatikan oleh si pemberi kerja sebelum mengajukan
penggunaan tenaga kerja asing. Selain harus mentaati ketentuan tentang jabatan,
juga harus memperhatikan standar kompetansi yang berlaku. Ketentuan tentang
jabatan dan standar kompetensi didelegasikan ke dalam bentuk Keputusan Menteri.
Namun dalam prakteknya, kewenangan delegatif maupun atributif ini belum
menggunakan aturan yang sesuai dengan UUK.
Kahadiran tenaga kerja asing dapat
dikatakan sebagai salah satu pembawa devisa bagi negara dimana adanya
pembayaran kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
Pembayaran kompensasi ini dikecualikan pada pemberi kerja tenaga kerja asing
merupakan instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu
di lembaga pendidikan. Besanya dana kompensasi untuk tenaga kerja Indonesia di
luar negeri sebesar US$15, sedangkan kompensasi untuk tenaga kerja asing di
Indonesia sebesar US$100. Dalam rangka pelaksanaan Transfer of Knowledge
dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indonesia, kepada pemberi kerja
diwajibkan untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja
pendamping (Pasal 49 UUK). Mengenai hal ini diatur dengan Keputusan Presiden
yang sampai saat ini belum ditetapkan.
3.
Peraturan
Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja
Asing
Peraturan Menteri ini dikelurakan
dalam rangka pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK. Dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan
Tenaga Kerja Asing ini maka beberapa peraturan sebelumnya terkait
dengan pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK ini yakni : Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP.20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP.21/MEN/III/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Sebagai Pemandu Nyanyi/Karaoke; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.15/MEN/IV/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan
Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.34/MEN/III/2006 tentang Ketentuan
Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Kepada Pengusaha Yang
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Pada Jabatan Direksi atau Komisaris; dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 44).
a. Tata Cara Permohonan Pengesahan
RPTKA
Selain harus memiliki izin
mempekerjakan tenaga kerja asing, sebelumnya pemberi kerja harus memiliki
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Pasal 3 menyebutkan bahwa “pemberi kerja yang akan
mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA” yang digunakan sebagai dasar untuk
mendapatkan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA,
pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis yang dilengkapi
alasan penggunaan TKA dengan melampirkan :
1. formulir RPTKA yang sudah
dilengkapi;
2. surat ijin usaha dari instansi yang
berwenang;
3. akte pendirian sebagai badan hukum
yang sudah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
4. keterangan domisili perusahaan dari
pemerintah daerah setempat;
5. bagan struktur organisasi
perusahaan;
6. surat penunjukan TKI sebagai
pendamping TKA yang dipekerjakan;
7. copy bukti wajib lapor
ketenagakerjaan yang masih berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981
tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan; dan
8. rekomendasi jabatan yang akan
diduduki oleh TKA dari instansi tertentu apabila diperlukan.
Formulir
RPTKA sebagaimana dimaksud pada huruf a memuat :
1. Identitas pemberi kerja TKA;
2. Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam
struktur bagan organisasi perusahaan yang bersangkutan;
3. Besarnya upah TKA yang akan
dibayarkan;
4. Jumlah TKA;
5. Lokasi kerja TKA;
6. Jangka waktu penggunaan TKA;
7. Penunjukan tenaga kerja warga negara
Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan; dan
8. Rencana program pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja Indonesia.
b. Pengesahan RPTKA
Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah
sesuai prosedur yang ditetapkan, Dirjen atau Direktur harus menerbitkan
keputusan pengesahan RPTKA. Penerbitan keputusan pengesahan RPTKA dilakukan
oleh Dirjen untuk permohonan penggunaan TKA sebanyak 50 (lima puluh) orang atau
lebih; serta Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50 (lima
puluh) orang. Keputusan pengesahan RPTKA ini memuat :
1. Alasan penggunaan TKA;
2. Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam
struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
3. Besarnya upah TKA;
4. Jumlah TKA;
5. Lokasi kerja TKA;
6. Jangka waktu penggunaan TKA;
7. Jumlah TKI yang ditunjuk sebagai
pendamping TKA; dan
8. Jumlah TKI yang dipekerjakan.
c. Perubahan RPTKA
Pemberi kerja TKA dapat mengajukan permohonan perubahan
RPTKA sebelum berakhirnya jangka waktu RPTKA. Perubahan RPTKA tersebut meliputi
:
1. penambahan, pengurangan jabatan
beserta jumlah TKA;
2. perubahan jabatan; dan/atau
3. perubahan lokasi kerja.
d. Persyaratan TKA
Bagi Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja
wajib memenuhi persyaratan yakni: memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan
didudukinya; bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada
tenaga kerja warga negara Indonesia khususnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
pendamping; dan dapat berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia.
e. Perijinan
Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) diberikan oleh
Direktur Pengadaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga kerja dan
Transmigrasi kepada pemberi kerja tenaga kerja asing, dengan terlebih dahulu
mengajukan permohonan untuk mendapatkan rekomendasi visa (TA-01) dengan
melampirkan (Pasal 23) :
1. Copy Surat Keputusan Pengesahan
RPTKA;
2. Copy paspor TKA yang akan
dipekerjakan;
3. Daftar riwayat hidup TKA yang akan
dipekerjakan;
4. Copy ijasah dan/atau keterangan
pengalaman kerja TKA yang akan dipekerjakan;
5. Copy surat penunjukan tenaga kerja
pendamping; dan
6. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm
sebanyak 1 (satu) lembar.
Dalam
hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa untuk dapat bekerja atas
nama TKA yang bersangkutan dan menerbitkan surat pemberitahuan tentang
persetujuan pemberian visa, maka pemberi kerja TKA mengajukan permohonan IMTA
dengan melampirkan (Pasal 24):
1. copy draft perjanjian kerja;
2. bukti pembayaran dana kompensasi
penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
3. copy polis asuransi;
4. copy surat pemberitahuan tentang
persetujuan pemberian visa; dan
5. foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 2
(dua) lembar.
f. Perpanjangan IMTA
Mengenai perpanjangan Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA) diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28. IMTA dapat diperpanjang paling lama
1 (satu) tahun, bila masa berlaku IMTA belum berakhir. Oleh karena itu
permohonan perpanjangan IMTA selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir. Permohonan perpanjangan IMTA
dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan :
1. Copy IMTA yang masih berlaku;
2. Bukti pembayaran dana kompensasi
penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
3. Copy polis asuransi;
4. Pelatihan kepada TKI pendamping;
5. Copy keputusan RPTKA yang masih
berlaku; dan
6. Foto berwarna ukuran 4 x 6 cm
sebanyak 2 (dua) lembar.
Perpanjangan
IMTA diterbitkan oleh :
1. Direktur untuk TKA yang lokasi
kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah propinsi;
2. Gubernur atau pejabat yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi
kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi;
3. Bupati/Walikota atau pejabat yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota untuk TKA yang
lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;
g. IMTA Untuk Pekerjaan Darurat
Pekerjaan yang bersifat darurat atau pekerjaan-pekerjaan yang
apabila tidak ditangani secara langsung mengakibatkan kerugian fatal bagi
masyarakat umum dan jangka waktunya tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari, yang
mana jenis pekerjaan mendesak itu ditetapkan oleh instansi pemerintah yang
membidangi sektor usaha yang bersangkutan. Permohonan pengajuan IMTA yang
bersifat mendesak ini disampaikan kepada Direktur dengan melampirkan :
1. Rekomendasi dari instansi pemerintah
yang berwenang;
2. Copy polis asuransi;
3. Fotocopy paspor TKA yang
bersangkutan;
4. Pasfoto TKA ukuran 4 x 6 cm sebanyak
3 (tiga) lembar;
5. Bukti pembayaran dana kompensasi
penggunaan TKA melalui bank yang ditunjuk oleh Menteri; dan
6. Bukti ijin keimigrasian yang masih
berlaku.
h. IMTA Untuk Kawasan Ekonomi Khusus
Untuk memperoleh IMTA bagi TKA yang bekerja di kawasan
ekonomi khusus, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Pejabat yang ditunjuk di kawasan ekonomi khusus. Tata cara memperoleh
IMTA di kawasan ekonomi khusus mengikuti ketentuan dalam poin 5 (lima).
i.
IMTA
Untuk Pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP)
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin
tinggal tetap wajib mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan :
1. Copy RPTKA yang masih berlaku;
2. Copy izin tinggal tetap yang masih
berlaku;
3. Daftar riwayat hidup TKA yang akan
dipekerjakan;
4. Copy ijasah atau pengalaman kerja;
5. Bukti pembayaran dana kompensasi
penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
6. Copy polis asuransi; dan
7. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm
sebanyak 3 (tiga) lembar.
j.
IMTA
Untuk Pemandu Nyanyi/Karaoke
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu
nyanyi/karaoke wajib memiliki ijin tertulis dari Direktur. Jangka waktu
penggunaan TKA sebagai pemandu nyanyi/karaoke diberikan paling lama 6
(enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang. Untuk menjapatkan ijin pemberi kerja
TKA harus mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan :
1. Copy ijin tempat usaha yang memiliki
fasilitas karaoke;
2. RPTKA yang telas disahkan oleh
direktur;
3. Bukti pembayaran dana kompensasi
penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
4. Copy polis asuransi; dan
5. Perjanjian kerja TKA dengan pemberi
kerja.
k. Alih Status
Pemberi kerja TKA instansi pemerintah atau lembaga
pemerintah atau badan internasional yang akan memindahkan TKA yang
dipekerjakannya ke instansi pemerintah atau lembaga pemerintah atau badan
internasional lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi alih status
kepada Direktur. Rekomendasi disampaikan kepada Direktur Jenderal Imigrasi
untuk perubahan KITAS/KITAP yang digunakan sebagai dasar perubahan IMTA atau
penerbitan IMTA baru.
l.
Perubahan
Nama Pemberi Kerja
Dalam hal pemberi kerja TKA berganti nama, pemberi kerja
harus mengajukan permohonan perubahan RPTKA kepada Direktur Penyediaan dan
Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah
RPTKA disetujui, Direktur Penyediaan dan penggunaan Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi menerbitkan rekomendasi kepada Direktur Jenderal Imigrasi
untuk mengubah KITAS/KITAP sebagai dasar perubahan IMTA, dengan terlebih dahulu
menyampaikan permohonan dengan melampirkan :
1. Copy RPTKA yang masih berlaku;
2. Copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
3. Copy IMTA yang masih berlaku;
4. Copy bukti perubahan nama perusahaan
yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
m. Perubahan lokasi Kerja
Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan lokasi kerja
TKA, pemberi kerja wajib mengajukan permohonan perubahan lokasi kerja TKA
kepada Direktur Penyediaan dan Penggunaan tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi dengan melampirkan copy RPTKA dan IMTA yang masih berlaku.
n. Pelaporan
Pemberi kerja TKA wajib melaporkan penggunaan TKA dan
pendamping TKA di perusahaan secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada
Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dirjen.
Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota melaporkan IMTA yang diterbitkan
secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada
Dirjen.
o. Pengawasan
Pengawasan terhadap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA
dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
p. Pencabutan Ijin
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai
dengan IMTA, Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang mencabut
IMTA.
D. IMPLEMENTASI
Sejak amandemen UUD 1945, asas
otonomi daerah mendapatkan posisinya dalam Pasal 18 tentang pemerintah daerah
dan dikembangkannya sistem pemerintahan yang desentralistis melalui
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lima hal pokok
yang menjadi kewenangan Pusat Menyusul diberlakukannya otonomi daerah ini
adalah luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter, kehakiman, dan fiskal.
Masalah ketenagakerjaan pun menjadi lingkup kewenangan pemerintah daerah,
dengan menempatkannya dalam struktur organisasi dan tata kerja dalam struktur
“dinas”.
Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor
PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, pengajuan
mempergunakan tenaga kerja asing untuk pertama kalinya diajukan kepada Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selanjutnya untuk perpanjangan diajukan dan
diberikan oleh Direktur atau Gubernur/Walikota. Kondisi ini telah melahirkan
masalah baru di daerah. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Kota Batam,
Sebelum diberlakukannya UUK, Pemerintah Daerah melalui seksi penempatan kerja
dan tenaga kerja asing memiliki tugas dan wewenang dalam proses pemberian izin
tenaga kerja asing di Kota Batam. Akan tetapi setelah diberlakukannya UUK,
tugas dan kewenangan seksi tereliminir. Para pengusaha yang akan mempekerjakan
tenaga kerja asing pun harus menyeberang pulau menenuju Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi di Jakarta. Tentu saja dengan mekanisme baru ini membutuhkan waktu
dan biaya yang tidak sedikit. Apa lagi birokrasi di Kementerian kita masih
dinilai negatif; urusan yang mudah justru dipersulit.
Kerumitan yang dipandang oleh para pengusaha
yang akan meminta izin mempekerjakan tenaga kerja asing ini menjadi sorotan
terutama bagi kementerian yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan pelayanan khususnya
pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja asing.Selanjutnya Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat Keputusan Nomor B.388/MEN/TKDN/VI/2005 tanggal 21 Juli 2005
yang telah disosialisasikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. SK ini pun
mendapat tanggapan keras dari kalangan pengusaha di Batam untuk dapat meninjau
kembali tentang pengesahan RPTKA. Keberatan lain yang menjadi point penting
adalah biaya yang cukup besar untuk mengurus pengajuan dan izin penggunaan
tenaga kerja asing. Pengurusan izin penempatan tenaga kerja asing juga muncul
sehubungan dengan pendapatan asli daerah (PAD) karena di dalam kaitannya dengan
dana kompensasi di Provinsi Jawa Timur terdapat sedikitnya 1400 tenaga kerja
asing yang tersebar di wilayah Kabupaten/Kota. Berkaitan dengan keberadaan
tenaga kerja asing tersebut maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur membuat Perda
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Izin Kerja Perpanjangan Sementara dan Mendesak Bagi
tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang; yang substansinya memberikan
pembebanan kepada pengguna tenaga kerja asing di Jawa Timur untuk membayar dana
kompensasi kepada pemerintah daerah provinsi dan hasil dana kompensasi tersebut
dibagi secara proporsional kepada setiap Kabupaten/Kota yang terdapat di
wilayah Provinsi Jawa Timur.
Contoh lain terdapat di Kabupaten
Bekasi yang sebagian ruang wilayah diperuntukkan bagi kawasan industri, maka
dengan didirikannya berbagai perusahaan industri, dampaknya terdapat tenaga
kerja asing yang bekerja di perusahaan-perusahaan industri di wilayah Bekasi.
Di Kabupaten Bekasi sedikitnya terdapat 1500 tenaga kerja asing, dari jumlah
tersebut sebagian besar tenaga kerja asing tersebut berasal dari Korea dan
Jepang.Terkait TKA di Kabupaten Bekasi diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 19
Tahun 2001 tentang Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Asing, salah satu substansi
pengaturannya berkaitan dengan kewajiban sertiap warga negara asing yang
bekerja di wilayah Kabupaten Bekasi untuk menyetor uang sebesar US$100 per
bulan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi. Secara ekonomis ketentuan tersebut
menghasilkan dana untuk pemerintah Kabupaten, karena dimasukkan ke dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi dan secara tidak
langsung Mekanisme tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk dari pengawasan
tidak langsung, karena setiap bulan akan diketahui berapa jumlah tenaga kerja
asing yang ada di Kabupaten Bekasi. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah dana
yang Disetor setiap bulan dari para pengusaha kawasan industri di Kabupaten
bekasi ke Kas Pemda Bekasi.
Namun demikian menurut Pemda Bekasi
keberadaan tenaga kerja asing di Bekasi belum memberikan keuntungan bagi
pembangunan di wilayahnya, Salah satu alasannya pemasukan pajak tenaga kerja
asing sebesar Rp 23 milyar wajib disetor ke Pemerintah Pusat, karena
berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2005 dana tersebut
merupakan pendapatan non pajak dan hak pemerintah pusat. BPK mengatakan dana
tersebut bersumber dari dana pengembangan ketrampilan kerja (DPKK), padahal
dana tersebut merupakan uang hasil pungutan dari seluruh tenaga kerja asing
yang bekerja di wilayah Bekasi. Perda Nomor 19 Tahun 2001 mempertimbangkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Dalam undang-undang tersebut disebutkan
daerah memiliki kewenangan mengatur keberadaan tenaga kerja asing demi
pembangunan daerah, hal ini berarti pungutan yang berasal dari tenaga kerja
asing seharusnya juga menjadi sumber pendapatan asli daerah. Sedangkan
pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan menyatakan pungutan terhadap
tenaga kerja asing sebagai pendapatan non pajak Kementerian Keuangan menyatakan
pungutan tersebut harus di setor kepada Pemerintah Pusat.
Dengan demikian terjadi perbedaan
pemahaman antara Pusat dan Daerah soal tenaga kerja asing yang dapat
menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian hukum. Hal tersebut tidak perlu
terjadi karena dengan tuntutan instansi/lembaga pemerintah di daerah untuk
menjalankan otonomi di daerahnya, dalam rangka ketenagakerjaan telah
dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 tentang
Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Pada Lampairan Keputusan Mendagri,
khususnya Pada Bidang Ketenagakerjaan angka romawi I huruf A: Penempatan dan
pendayagunaan, angka 7 : Perizinan dan Pengawasan, perpanjangan izin penggunaan
tenaga Kerja asing, disebutkan bahwa kewenangan yang dilimpahkan kepada
Kabupaten/Kota adalah :
1. Penelitian pelengkapan persyaratan
perizinan (IKTA);
2. Analisis jabatan yang akan diisi
oleh tenaga kerja asing
3. Pengecekan kesesuaian jabatan dengan
Positif List tenbaga kerja asing yang akan dikeluarkan oleh DEPNAKER;
4. Pemberian perpanjangan izin
(Perpanjangan IMTA);
5. Pemantauan pelaksanaan kerja tenaga
kerja asing; dan
6. Pemberian rekomendasi IMTA.
Terkait permohonan IKTA dalam rangka
penenaman modal asing, didasarkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja,
Transmigrasi dan Koperasi Nomor KEP-105/MEN/1977 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Izin Kerja Bagi tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka
Koordinasi penanaman modal, diatur bahwa IKTA dikeluarkan oleh Ketua Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor
KEP-03/MEN/1990 bahwa permohonan IKTA yang diajukan oleh pemohon yang merupakan
perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN, disampaikan kepada Ketua BKPM (Pasal 9
ayat 2). Kemudian Ketua BKPM atas nama Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan IKTA
dengan tembusan disampaikan kepada instansi teknis (Pasal 10 ayat 2 dan 3).
Selanjutnya pengaturan secara teknis
tentang tata cara permohonan penyelesaian IKTA bagi perusahaan dalam rangka PMA
dan PMDN, wajib menyesuaikan dan mengikuti ketentuan dalam Kepmenaker Nomor
KEP-416/MEN/1990 (Pasal 21). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor
KEP-169/MEN/2000 tentang Pencabutan Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1977 Tentang
pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja bagi Tenaga Kerja Asing yang akan
bekerja dalam rangka Koordinasi Penanaman Modal dan Kepmenaker Nomor
KEP-105/MEN/1985 tentang Penunjukan Ketua BKPM untuk mensahkan (RPTKA) dalam
rangka penanaman modal, mencabut wewenang pemberian izin kerja (IKTA) oleh
Ketua BKPM dalam rangka penanaman modal (sejak tanggal 1 Juli 2000).
Selanjutnya pemberian IKTA dilaksanakan oleh Menteri Tenaga Kerja sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- ketentuan mengenai tenaga kerja asing di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak diatur lagi dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri seperti dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1958 tentang penempatan tenaga kerja asing, tetapi merupakan bagian dari kompilasi dalam UUK yang baru tersebut. Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing dimuat pada Bab VIII Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. Namun demikian untuk dapat melaksanakan undang-undang yang baru masih banyak kendala terutama dalam menggalakkan investasi karena sejumlah peraturan yang melengkapi kelancaran program penggunaan tenaga kerja asing belum siap, sejauh ini baru Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang sudah ada disamping 3 Permenaker yang lain untuk mengisi kekosongan hukum dengan belum terbitnya peraturan-peraturan yang diperlukan maka peraturan yang lama sementara masih diberlakukan.
- Penempatan tenaga kerja asing dapat dilakukan setelah pengajuan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) disetujui oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan mengeluarkan izin penggunaan tenaga kerja asing. Untuk dapat bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing tersebut harus mempunyai izin tinggal terbatas (KITAS) yang terlebih dahulu harus mempunyai visa untuk bekerja di Indonesia atas nama tenaga kerja asing yang bersangkutan untuk dikeluarkan izinnya oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
3. Tenaga ahli yang didatangkan dari
luar negeri oleh perusahaan pemerintah/swasta hendaknya benar-benar tenaga ahli
yang terampil sehingga dapat membatu proses pembangunan ekonomi dan teknologi
di Indonesia. Untuk itu proses alih teknologinya kepada TKI baik dalam jalur
menajerial maupun profesionalnya harus mendapat pengawasan yang ketat dengan
memberikan sertifikasi kepada tenaga ahli tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Laporan,
“Survey Nasional Tenaga Kerja Asing di Indonesia”, Bank Indonesia, Tahun
2009.
Laporan
Akhir Penelitian: Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, BPHN,
Tahun 2005.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan
Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang (TKWNAP)
Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.HT.04.02 Tahun 1997 Penggunaan
Ahli Hukum Warga Negara Asing oleh Kantor Konsultan Hukum Indonesia
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigarasi Nomor 223 Tahun 2003 Tentang
Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar
Kompensasi.
Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.09-Pr.07.10 Tahun 2007 Tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI
Peraturan
Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja
Asing
Kompas.com,
Dilema Indonesia dalam ACFTA, diakses tanggal 11 Mei 2011.
No comments:
Post a Comment